To See the Unseen, Kisah di Balik Damai di Aceh


Penulis: Farid Husain
Penyunting: Salim Shahab dan Eben Ezer Siadari
Penerbit: Institut Perdamaian Indonesia, 2007
Deskripsi: Kisah-kisah perjalanan Farid Husain dalam merintis perdamaian yang sukses di berbagai daerah konflik di Tanah Air, terutama di Aceh.


Berikut ini tulisan wartawan harian Kompas, Abun Sanda, tentang Farid Husain, penulis buku ini. 

  Farid Husain, Di Belakang Perundingan Damai (Kompas, 24 April 2007)

Pekan lalu, Farid Husain meluncurkan buku yang berisi pengalamannya dalam perundingan damai Gerakan Aceh Merdeka atau GAM dengan Pemerintah Republik Indonesia. Buku itu diberinya judul To See The Unseen, Kisah di Balik Damai di Aceh. Diam-diam Farid memainkan peran penting di belakang layar perundingan tersebut. 

Inspirasi menulis buku tersebut, kata Farid Husain (57), baru muncul setahun setelah proses perdamaian Aceh berlangsung. Salim Shahab dan Eben Ezer Siadari menjadi editor untuk buku setebal 291 halaman tersebut. Lewat buku ini, pembaca bisa mengetahui bagaimana kepiawaian lobi dapat mencairkan perundingan yang nyaris buntu. 

Kembali pada masa proses perundingan delegasi GAM dengan delegasi RI pada bulan Januari sampai sekitar Agustus 2005. Kota Helsinki, Finlandia, yang menjadi tempat perundingan, saat itu berudara dingin. Beberapa kali delegasi Indonesia memasuki Wisma Duta Indonesia dengan wajah letih dan raut wajah tak puas. Sementara Farid Husain yang "pelit" kata-kata memilih berjalan kaki menuju Hotel Hilton yang berlokasi di samping Wisma Duta. 

Hanya beberapa menit Farid berada di hotel itu. Sosoknya lalu lenyap bersama taksi yang ditumpanginya. Hari-hari berikutnya ia nyaris selalu berlaku seperti itu. Suhu dingin Helsinki tak mampu mengurangi gerak pria bertubuh subur ini. Beberapa kali pula dia terlihat berbicara dengan delegasi inti atau tokoh teras GAM. Hal itu dilakukannya di lift, lobi hotel, tepi pantai, bahkan juga di toilet. 

Di belakang layar
 
Peran Farid dalam perundingan tersebut tak bisa dianggap enteng. Wakil Presiden Jusuf Kalla serta Bachtiar Abdullah dan Zaini Abdullah dari delegasi GAM pun mengakui hal itu. Farid bertugas melobi delegasi dan pejuang GAM. Dia pula yang menggalang dukungan dari sejumlah kalangan di Eropa yang bersimpati pada persoalan Aceh. 

"Ah, kami kan memang berbagi tugas," ujar Farid merendah. 

Lalu, lanjut dia, "Pak Hamid (Awaludin), Pak Sofyan (Djalil), Pak Usman (Basjah), dan Pak Puja (I Gusti Agung Wesaka Puja), masing-masing mempunyai peran besar, sesuai keahlian masing-masing. Kami kompak dan tidak merasa lebih terhadap yang lain. Ini juga karena ada dukungan kuat dari Presiden dan Wakil Presiden," kata Farid di Jakarta beberapa waktu lalu. Nama-nama yang disebut adalah tim perunding dari Indonesia. 

Pembicaraan damai yang menghabiskan enam babak perundingan itu berlangsung alot. Perundingan yang difasilitasi mantan Presiden Finlandia, Martti Ahtisaari, dimulai bulan Januari saat musim dingin dan berakhir Agustus pada musim panas. Hasil perundingan di Finlandia inilah yang membuat konflik bersenjata selama 30 tahun di Nanggroe Aceh Darussalam berakhir. 

Nama Farid mendapat tempat tersendiri karena ia kemudian diketahui sebagai orang yang bermain di balik layar. Ia termasuk sosok yang berjasa menghentikan pertumpahan darah antarsaudara di bumi Aceh. 

Ahli bedah
 
Farid adalah dokter ahli bedah yang sehari-hari menjabat sebagai Direktur Jenderal Pelayanan Medik Departemen Kesehatan. Dia menuturkan, tak mudah menjadi orang yang harus muncul di atas dan di belakang panggung sekaligus. Dengan karakter dan kemampuan yang dimiliki, dia merasa lebih pas berperan di belakang panggung sehingga bisa lebih berkonsentrasi dalam lobi. 

"Apa kunci kepiawaiannya melobi?" Farid tertawa, ia kemudian menjawab secara agak berkelok bahwa keliru kalau ada yang menilai modal utama melobi adalah keluwesan bergaul, setia kawan, gampang bersimpati, pandai menjaga perasaan orang lain, piawai membangun suasana, dan sebagainya. 

Bagi Farid, pelobi mesti membekali diri dengan pengetahuan yang luas, latar belakang, serta "kisah-kisah" tentang banyak orang penting. Dia, misalnya, tekun mempelajari latar belakang keluarga tokoh GAM. Ia berusaha keras masuk ke dalam lingkungan keluarga GAM. Kendati untuk itu ia harus masuk ke pelosok dusun dan hutan. 

Ketekunan itu ia petik buahnya ketika bertemu tokoh teras GAM. Farid bisa dengan enteng menyapa tokoh teras GAM di luar negeri sambil berkata, "Saya sudah bertemu anak bungsu Anda di dusun ini. Ia baik-baik saja. Pesannya, tolong belikan dia beberapa baju kaus dan cokelat." 

Tokoh GAM di luar negeri yang sudah sekian tahun tidak bertemu anaknya itu bisa meneteskan air mata mendengar kabar tentang buah hatinya. "Pertemanan" seperti ini kala itu memang sama sekali tidak membuat tokoh GAM melunak kepada RI. Akan tetapi, langgam tersebut membuat Farid memegang akses berbicara dari hati ke hati dengan tokoh-tokoh GAM. Jika perundingan buntu, Farid bisa masuk mencairkan suasana.

Talenta
 
Bakat lobi Farid sebenarnya sudah tampak sejak ia duduk di bangku sekolah menengah atas dan berlanjut saat dia belajar di Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin, Makassar. Perselisihan atau pertikaian seakan segera "menguap" begitu Farid turun tangan. 

Wakil Presiden Jusuf Kalla, yang mengenal dekat sejak 40 tahun silam, rupanya memanfaatkan kemampuan Farid tak hanya dalam proses perdamaian di Nanggroe Aceh Darussalam. Dalam perundingan mendamaikan para pihak yang bertikai di Ambon dan Poso, Jusuf Kalla—yang ketika itu menjadi Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat—juga menggunakan tenaganya untuk mencairkan kebekuan para pihak yang bertikai. Dia memainkan peran penting di balik panggung yang membuat para pihak sepakat menghentikan genderang perang. 

Untuk melahirkan perdamaian Aceh, Jusuf Kalla menugaskan Farid membangun jalan agar perundingan RI dengan GAM berjalan mulus. Farid mendekati dan bergaul dengan semua pengambil keputusan dan orang-orang berpengaruh di Aceh, baik dari kalangan GAM maupun non-GAM. Inilah yang membuat Farid terbang ke berbagai kota di dunia untuk membangun jalan itu. 

Pergaulannya dengan orang-orang GAM membuat Farid bisa lebih leluasa masuk ke dalam lingkungan delegasi GAM ketika perundingan nyaris buntu. Ia bisa berbicara dengan para tokoh GAM di rumah orang-orang GAM, di jembatan, bahkan di bandara. 

Namun, di balik keluwesan sikap ini, Farid teguh dalam sikap. "Pelobi memang mesti pintar bergaul, tetapi di balik itu dia juga harus memiliki prinsip dan integritas kuat agar tidak mudah terombang-ambing," ujarnya memberi alasan. 

Terhadap keempat anaknya, Farid bersifat terbuka. Mungkin karena itulah, mereka mengikuti jejak belajar di fakultas kedokteran, di mana dua di antaranya sudah menyelesaikan kuliah. 

"Saya tidak menyuruh, mereka sendiri yang ingin menjadi dokter. Mungkin biar seperti ayahnya, ya. Ha-ha-ha," tutur Farid.

No comments: